Indonesia memang kaya
akan budaya. Tiap daerah pasti punya kearifan lokal budaya sendiri untuk
menunjukkan citra nya ke dunia luar, begitu pun daerah asal saya Wakatobi.
Sebelumnya saya harus menginfokan apa tuh Wakatobi. Karena banyak orang yang
sangat jarang mendengar nama itu sebelumnya. Tapi saya gak yakin jika sekarang
orang orang tidak mengenal nama itu lagi. Hehe.. saya punya alasan logis untuk
itu. Biasanya untuk orang awam, Wakatobi sering dianggap sebagai pulau di
Jepang atau Pulau di Maluku. Hehe,, gak salah sih mereka berpikiran seperti
itu. Yup,, itu karena nama Wakatobi sangat mirip dengan pulau pulau yang ada di
Jepang. Hehehe
Well, sekarang saya
ungkap dengan sangat jelas apa itu Wakatobi dan dimanakah dia berada
sesungguhnya. Wakatobi adalah sebuah kepulau kecil di ujung sulawesi Tenggara.
Banyak penyelam yang mengatakan wakataobi adalah pulau paling ujung di seluruh
dunia,,hehe. Secara adminstratif, Wakatobi dulunya adalah bagian dari pulau
Buton. Namun, setelah adanya otonomi daerah, wakatobi melepaskan diri dari
pulau Buton dan membentuk kabupaten sendiri. Jadi, wakatobi sekarang berdiri
tunggal sebagai satu kabupaten. Udah sampai situ sedikit tergambar kan tentang
Wakatobi ? namun saya akan melanjutkan lagi pencerahannya ( hehehe,pengajian
kalii yahh ?? ). Banyak orang yang salah pandangan tentang Wakatobi. Mereka berpikiran
bahwa Wakatobi adalah satu kepulauan yang utuh, dan untuk ke tiap bagiannya
bisa menggunakan jalur darat. Tapi nyatanya Wakatobi masih mewakili negara kita
sebagai negara yang banyak pulau..hehe. Penasaran kenapa saya berkata demikian
? hal ini karena sebenernya Wakatobi itu adalah akronim dari empat pulau besar
yang terpisahkan oleh lautan luas. Apa yah maksudnya ?? jadi kata Wakatobi
berasal dari Wangi wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Jarak antar pulau
memang membutuhkan energi ekstra untuk kalian bisa mencapainya. Bisa 2-3 jam
lohh,, dan saya tinggal di pulau Kaledupa ( hehehe,,gak penting yah untuk
diceritain ). Sampai di sini udah kegambar kan tentang Wakatobi? Karena yang
ingin saya ceritakan bukan tentang Wakatobi nya tapi sisi budaya nya. Nanti
saya akan mengupas tentang wakatobi lebih dalam lagi di lembar berikutnya.
Karia,, nama ini tentu
asing buat kalian kan ?? heheh,,wajar lah. Nama itu hanya anda bisa dengarkan
di Wakatobi. Karia adalah salah satu ritual di Wakatobi untuk merayakan hari
dewasa sang anak kecil menjadi sosok yang mandiri. Acara ini adalah semacam
pesta rakyat karena diikuti oleh banyak remaja remaja. Untuk mengikuti acara
ini, orang tua kita harus mempersiapkan banyak makanan tradisional seperti lapa
lapa ( makanan khas wakatobi yang terbuat dari campuran ketan dan beras merah,
dibungkus dalam pelepah daun pisang ),ikan,telur,dll. Kemudian kita harus
berkumpul di satu tempat bersama makanan yang sudah kita siapkan.
Pakaian Adat Karia
Sore itu saya baru
berusia 5 tahun. Saya dibangunkan tiba tiba oleh ibu saya untuk mandi dan
bersiap untuk mengikuti acara karia. Saya sangat malas sekali waktu itu, karena
saya berpikir ngapain sih ngikutin acara seperti itu. Tapi ibu saya tidak
kehilanagan akal. Dia membangunkan saya berulang kali sehingga akhirnya saya
menyerah dan kemudian beranjak dari tempat tidur saya menuju kamar mandi.
Setelah dimandikan oleh ibu saya, saya kemudian digiring ke tempat yang sudah
banyak orang berkumpul. Dan di sana banyak jenis makanan pun sudah siap. Yang
paling saya perhatikan adalah makanannya dan bukan pada acara nya ..hehehe.
maklum lah makanannya berbagai macam dan semua nya yummy banget. Nah acara
puncaknya datanglah orang orang yang digotong dalam pandu yang dibuat sangat menarik sekali. Dihiasi dengan berbagai dekorasi yang mencirikan budaya Wakatobi. Orang orang dalam pandu itu mengenakan pakaian adat tradisioanal Wakatobi. Sungguh sangat menarik dan berkesan mengikuti acara ini, walaupun pada saat itu saya belum mengerti esensi dari mengikuti acara ini. Yang saya tahu acara yang saya ikuti itu sangat berkesan sampai saya masih tetap bisa mengingatnya dan menulisnya sebagai potongan kisah berkesan di masa kecil ku.
Labels: Culture, kisah, wakatobi